Betapa kita bosan mendengar
berita tentang korupsi di negeri ini yang seolah tak pernah berhenti bahkan
semakin menjadi-jadi. Enam presiden berganti, puluhan menteri, jaksa, polisi
telah di rotasi rupanya tak pernah bisa menghapus perilaku ini. Bahkan tak
jarang mereka yang seharusnya memberantas korupsi akhirnya terpilin jerat
korupsi. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menyeret
ratusan koruptor ke dalam bui pun tak bisa menakut-nakuti koruptor untuk terus
mencuri. Sungguh situasi yang kadang membuat kita frustasi, saat televisi tak
pernah berhenti mewartakan senyum manis dan wajah pencuri keji ini saat mereka digelandang ke balik jeruji besi.
Betapa pun kita pantas mengutuki
perilaku nista ini. Betapa tidak, uang negara yang dikumpulkan keping demi keping,
receh demi receh, lembar demi lembar dengan begitu susah payah seakan tak
berarti. Diambil, dicuri dan dibagi-bagi seolah uang kakek nenek mereka
sendiri. Kita tak boleh lagi terlena akan dongeng negeri kita yang kaya raya.
Biarlah cerita itu menjadi penghias mimpi tidur anak-anak kita. Hasil bumi kita
yang terkumpul untuk membiayai negeri ini tak lebih dari 25% saja. Tak lebih! Sisanya yang 75% adalah dari
pajak. Iya, dari pajak yang kadang tak pernah kita peduli. Tak pernah
diperhatikan bahkan oleh petinggi-petinggi negeri.
Betapa berat tugas pengumpul
pajak di negeri ini. Direktorat Jenderal Pajak, instansi yang diberi tugas
melaksanakan administrasi perpajakan, seperti dibiarkan seperti kurcaci. Tubuh
mereka tetap kerdil sementara beban yang menggelayut di bahu dan punggungnya
semakin berat berkati-kati. Ini bukan ironi, saat sebuah instansi yang diberi
beban mengumpulkan Rp. 1.100 Triliun (anda tidak sedang salah baca, “triliun”
adalah sebuah bilangan dengan dua belas digit angka berderet di belakangnya) begitu
susahnya untuk menata organisasinya sendiri, menambah jumlah pegawai apalagi
menentukan anggaran sendiri yang sudah lebih dari 10 tahun hanya mengalami kenaikan tak berarti.
Betapa mungkin tuan puan heran, meski itu dari hasil uang yang tiap hari mereka kumpulkan setengah mati.
Betapa pun susahnya kondisi,
mereka tak pernah jeri. Berbakti demi negeri apa pun yang terjadi. Meski dihajar
dari sana-sini, termasuk dari dalam tubuh sendiri, instansi ini harus tetap
berdiri, berjalan dan akan terus berlari. Tantangan tugas mereka tak terperi,
juga ditambah kondisi ekonomi yang tidak pasti. Belum lagi tingkat kesadaran
masyarakat tentang pajak yang belum tinggi. Mereka memandang pajak adalah
sesuatu yang membebani. Mungkin mereka belum mahfum, bahwa bensin yang mereka
pakai untuk membakar mesin motor dan mobil mereka adalah hasil pajak yang
dinikmati sebagai subsidi yang menggerogoti 30% anggaran belanja negeri. Belum
lagi jalan yang mereka susuri, listrik yang menerangi atau pun udara yang bisa
mereka hirup dengan aman dan damai juga tak bisa lepas dari kontribusi pajak
yang mungkin tidak mereka lunasi.
Betapa kita tak bisa maklumi bahwa ketidakpahaman masyarakat awam mungkin juga berasal dari minimnya
edukasi dan sosialisasi yang tak memadai. Teladan dari pemimpin untuk
membayar pajak juga jarang kita ditemui. Belum lagi masih adanya stigma buruk tentang
rumitnya birokrasi pajak, bahkan tak jarang kita dengar betapa susahnya untuk
sekadar membayar pajak di negeri ini. Juga masih adanya oknum petugas pajak
yang ditangkap karena berkolusi semakin membuat masyakat antipati. Betapa kita
harus yakin bahwa keadaan ini akan terus diperbaiki.
Betapa kita juga tak boleh
membutakan mata dan menulikan gendang telinga, betapa masih banyak orang kaya
dan perusahaan-perusahaan dengan kekayaan yang menggurita yang tidak mau
membayar pajak. Betapa mereka sebenarnya tahu dan paham bahwa negeri ini bisa
bubar jalan jika setoran pajak tak maksimal. Dengan kemampuan finansialnya
mereka mencari berbagai cara agar pembayaran pajak mereka bisa diakali.
Mencari-cari celah-celah aturan yang bisa memungkinkan kewajiban pajak mereka
bisa dihindari. Meski mungkin secara hukum itu masih bisa diperdebatkan dengan
ribuan argumentasi. Namun tak jarang pula para pengemplang pajak ini yang
terang-terangan menabrak aturan yang telah disepakati untuk menghindari pajak
yang harus mereka lunasi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berusaha mengambil
uang dari pundi-pundi negara yang mereka sendiri sebenarnya tak pernah ikut mengisi.
Betapa jahat muslihat mereka ini.
Tak jarang mereka melakukan intimidasi pada petugas pajak yang tak mempunyai
amunisi ini. Betapa tak jarang kita mendengar petugas pajak yang diancam bahkan
di kantor mereka sendiri, seperti berita intimidasi di salah satu kantor pajak selang lalu beberapa
hari. Sungguh, petugas pajak bukan tentara atau polisi yang mempunyai
senjata untuk membela diri. Sungguh mereka begitu berani, karena mengemplang
pajak berarti membangkang dan melawan negara yang telah menghidupi mereka
sehari-hari. Mungkin ini bisa dikategorikan tindakan subversi.
Betapa kita harus benci dengan
para pengemplang pajak ini. Mereka mengambil uang negara bahkan sebelum uang
itu mengisi pundi-pundi negeri. Betapa banyak rakyat yang bisa dihidupi dari
uang yang masih mereka dekap erat-erat, seperti balon hijau yang tersisa seperti
sering kita dengar di kidung anak-anak atau bayi. Mereka adalah perampok masa depan
anak cucu kita nanti. Betapa kita akan berdosa jika membiarkan hal ini terus terjadi.
Betapa kita tak pernah sepi membenci koruptor setengah mati. Meminta mereka dihukum potong tangan hingga digantung sampai mati. Menuntut mereka dihukum menikmati dinginnya bui di balik jeruji besi. Seharusnya pula kita menuntut pengemplang pajak diperlakukan sama dengan penjahat korupsi. Karena sesungguhnya mereka tak kalah keji.
Betapa kita harus bersaksi. Demi
Tuhan, pengemplang pajak adalah perampok, tak beda dengan koruptor yang harus
kita kutuki.
(gambar diambil dari http://www.ktbs.com/story/24325689/police-fatally-shoot-ruston-armed-robbery-suspect )
0 comments:
Post a Comment