Sunday, November 9, 2014

Mereka Juga Perampok yang Harus Kita Kutuki!



Betapa kita bosan mendengar berita tentang korupsi di negeri ini yang seolah tak pernah berhenti bahkan semakin menjadi-jadi. Enam presiden berganti, puluhan menteri, jaksa, polisi telah di rotasi rupanya tak pernah bisa menghapus perilaku ini. Bahkan tak jarang mereka yang seharusnya memberantas korupsi akhirnya terpilin jerat korupsi. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menyeret ratusan koruptor ke dalam bui pun tak bisa menakut-nakuti koruptor untuk terus mencuri. Sungguh situasi yang kadang membuat kita frustasi, saat televisi tak pernah berhenti mewartakan senyum manis dan wajah pencuri keji ini  saat mereka digelandang ke balik jeruji besi.

Betapa pun kita pantas mengutuki perilaku nista ini. Betapa tidak, uang negara yang dikumpulkan keping demi keping, receh demi receh, lembar demi lembar dengan begitu susah payah seakan tak berarti. Diambil, dicuri dan dibagi-bagi seolah uang kakek nenek mereka sendiri. Kita tak boleh lagi terlena akan dongeng negeri kita yang kaya raya. Biarlah cerita itu menjadi penghias mimpi tidur anak-anak kita. Hasil bumi kita yang terkumpul untuk membiayai negeri ini tak lebih dari 25%  saja. Tak lebih! Sisanya yang 75% adalah dari pajak. Iya, dari pajak yang kadang tak pernah kita peduli. Tak pernah diperhatikan bahkan oleh petinggi-petinggi negeri.

Betapa berat tugas pengumpul pajak di negeri ini. Direktorat Jenderal Pajak, instansi yang diberi tugas melaksanakan administrasi perpajakan, seperti dibiarkan seperti kurcaci. Tubuh mereka tetap kerdil sementara beban yang menggelayut di bahu dan punggungnya semakin berat berkati-kati. Ini bukan ironi, saat sebuah instansi yang diberi beban mengumpulkan Rp. 1.100 Triliun (anda tidak sedang salah baca, “triliun” adalah sebuah bilangan dengan dua belas digit angka berderet di belakangnya) begitu susahnya untuk menata organisasinya sendiri, menambah jumlah pegawai apalagi menentukan anggaran sendiri yang sudah lebih dari 10 tahun hanya mengalami kenaikan tak berarti. Betapa mungkin tuan puan heran, meski itu dari hasil uang yang tiap hari mereka kumpulkan setengah mati.

Betapa pun susahnya kondisi, mereka tak pernah jeri. Berbakti demi negeri apa pun yang terjadi. Meski dihajar dari sana-sini, termasuk dari dalam tubuh sendiri, instansi ini harus tetap berdiri, berjalan dan akan terus berlari. Tantangan tugas mereka tak terperi, juga ditambah kondisi ekonomi yang tidak pasti. Belum lagi tingkat kesadaran masyarakat tentang pajak yang belum tinggi. Mereka memandang pajak adalah sesuatu yang membebani. Mungkin mereka belum mahfum, bahwa bensin yang mereka pakai untuk membakar mesin motor dan mobil mereka adalah hasil pajak yang dinikmati sebagai subsidi yang menggerogoti 30% anggaran belanja negeri. Belum lagi jalan yang mereka susuri, listrik yang menerangi atau pun udara yang bisa mereka hirup dengan aman dan damai juga tak bisa lepas dari kontribusi pajak yang mungkin tidak mereka lunasi.

Betapa kita tak bisa maklumi bahwa ketidakpahaman masyarakat awam mungkin juga berasal dari minimnya edukasi dan sosialisasi yang tak memadai. Teladan dari pemimpin untuk membayar pajak juga jarang kita ditemui. Belum lagi masih adanya stigma buruk tentang rumitnya birokrasi pajak, bahkan tak jarang kita dengar betapa susahnya untuk sekadar membayar pajak di negeri ini. Juga masih adanya oknum petugas pajak yang ditangkap karena berkolusi semakin membuat masyakat antipati. Betapa kita harus yakin bahwa keadaan ini akan terus diperbaiki.

Betapa kita juga tak boleh membutakan mata dan menulikan gendang telinga, betapa masih banyak orang kaya dan perusahaan-perusahaan dengan kekayaan yang menggurita yang tidak mau membayar pajak. Betapa mereka sebenarnya tahu dan paham bahwa negeri ini bisa bubar jalan jika setoran pajak tak maksimal. Dengan kemampuan finansialnya mereka mencari berbagai cara agar pembayaran pajak mereka bisa diakali. Mencari-cari celah-celah aturan yang bisa memungkinkan kewajiban pajak mereka bisa dihindari. Meski mungkin secara hukum itu masih bisa diperdebatkan dengan ribuan argumentasi. Namun tak jarang pula para pengemplang pajak ini yang terang-terangan menabrak aturan yang telah disepakati untuk menghindari pajak yang harus mereka lunasi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berusaha mengambil uang dari pundi-pundi negara yang mereka sendiri sebenarnya tak pernah ikut mengisi. 

Betapa jahat muslihat mereka ini. Tak jarang mereka melakukan intimidasi pada petugas pajak yang tak mempunyai amunisi ini. Betapa tak jarang kita mendengar petugas pajak yang diancam bahkan di kantor mereka sendiri, seperti berita intimidasi di salah satu kantor pajak selang lalu beberapa hari. Sungguh, petugas pajak bukan tentara atau polisi yang mempunyai senjata untuk membela diri. Sungguh mereka begitu berani, karena mengemplang pajak berarti membangkang dan melawan negara yang telah menghidupi mereka sehari-hari. Mungkin ini bisa dikategorikan tindakan subversi.

Betapa kita harus benci dengan para pengemplang pajak ini. Mereka mengambil uang negara bahkan sebelum uang itu mengisi pundi-pundi negeri. Betapa banyak rakyat yang bisa dihidupi dari uang yang masih mereka dekap erat-erat, seperti balon hijau yang tersisa seperti sering kita dengar di kidung anak-anak atau bayi. Mereka adalah perampok masa depan anak cucu kita nanti. Betapa kita akan berdosa jika membiarkan hal ini terus terjadi.

Betapa kita tak pernah sepi membenci koruptor setengah mati. Meminta mereka dihukum potong tangan hingga digantung sampai mati. Menuntut mereka dihukum menikmati dinginnya bui di balik jeruji besi. Seharusnya pula kita menuntut pengemplang pajak diperlakukan sama dengan penjahat korupsi. Karena sesungguhnya mereka tak kalah keji.


Betapa kita harus bersaksi. Demi Tuhan, pengemplang pajak adalah perampok, tak beda dengan koruptor yang harus kita kutuki.



(gambar diambil dari http://www.ktbs.com/story/24325689/police-fatally-shoot-ruston-armed-robbery-suspect )

Friday, July 11, 2014

Prajurit Tanpa Amunisi

Pic taken from pinterest.com


Mata Rojak terus tertuju pada selembar kertas yang dipegangnya. Berulang kali dia membaca tulisan dalam kertas itu. Tiba-tiba dia mendengus sambil meletakkan kertas itu di meja kerjanya yang penuh dengan berkas-berkas permohonan WP dengan waktu jatuh tempo yang kian dekat.

"Sialan, WP ini gak mau respon himbauan ini. Boro-boro mau bayar pajak!" 

Roni yang duduk di seberangnya berceletuk.

"Sabar, Jak. Namanya juga WP, mana ada yang mau bayar pajak. Udah datangin aja ke lokasinya,'' ujarnya.

***

Rojak kembali teringat seminggu lalu ketika menyampaikan surat himbauan itu ke lokasi Wajib Pajak (WP). Dengan mobil Isuzu-Panther warna biru tua milik kantor, dia ditemani atasannya berangkat pagi-pagi sekali, ketika teman-teman sekantornya belum datang.

Lokasi WP terletak jauh dari kantor Rojak. Tak kurang dari tiga jam waktu yang harus dia tempuh. WP yang didatangi Rojak ini adalah salah satu pengusaha tambang batubara. Jalan yang dia lalui tentu tak sehalus jalan-jalan di Jawa. Sebagian besar jalan sudah telanjang tanpa terbungkus aspal lagi. Sementara di kanan-kiri jalan dia melihat kehidupan penduduk yang memperihatinkan. Antrean solar dan bensin di SPBU yang panjang. Listrik yang lebih sering mati daripada menyala. Sungguh ironi untuk daerah yang dikenal sebagai penghasil energi.

Semakin dekat ke lokasi pertambangan, Rojak kembali mengurut dada. Di antara rumah-rumah penduduk yang  terbuat dari kayu, ada sebuah rumah yang besarnya seperti istana. Di halaman rumahnya berjajar mobil-mobil mewah yang hanya bisa ditemui di Jakarta.

"Mungkin ini rumah Pak Haji. Pemilik kuasa pertambangan," bisiknya lirih.

Sudah bukan rahasia lagi, para  pemilik tambang adalah raja kecil di daerah. Dengan uang yang dimilikinya dia bisa membeli apa saja. Banyak orang yang rela mati untuk menjaga kepentingannya.

Benar saja, tak lama ada beberapa orang yang menghentikan mobil Rojak.

"Bapak darimana dan mau kemana?" tanyanya salah satu dari mereka kasar.

Rojak dan atasannya kemudian turun, dan menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Setelah berunding alot mereka terpaksa balik ke kantor. Surat himbauan hanya bisa dititipkan melalui mereka, karena Pak Haji sedang umroh. Mungkin itu alasan saja. Tapi Rojak dan atasannya tak berani mengambil risiko, demi keselamatan mereka.

***

Tiba-tiba handphone Rojak berbunyi.

"Gimana, Mas. Sudah dapat tiketnya. Anakmu badannya masih panas. Mungkin kangen Bapaknya," suara istrinya dari seberang handphone.

"Sabar ya, Dik. Harga tiket pesawat sedang mahal-mahalnya nih. Aku masih tunggu sebentar. Siapa tahu turun," jawab Rojak memelas.

"Ya udah, Mas. Nanti kabarin ya," kata istrinya dan dijawab iya oleh Rojak sambil mengakhiri percakapannya.

Rojak kembali lemas. Sudah lima tahun dia terpaksa jauh dari keluarga yang dicintainya. Tinggal di daerah terpencil tak baik buat perkembangan dua orang anak-anaknya yang masih kecil. Tentu ini pilihan yang berat karena harus menghidupi dua dapur. Sementara istinya di Jawa pun tidak bekerja. Hidupnya hanya tergantung dari gaji Rojak dan warung kecil-kecilan yang dia buka. Gaji dan tunjangan yang diterima Rojak habis untuk kehidupan sehari-hari. Belum lagi ongkos tiket pesawat untuk pulang pergi dua bulan sekali yang harus dia keluarkan sekadar untuk bertemu melepas rindu dengan keluarga yang sangat dicintainya.

Rojak kembali merefresh laman maskapai penerbangan satu-satunya yang bisa membawanya pulang. Ya, hanya ada 1 penerbangan yang tersedia setiap harinya. Dia menghela napas sebentar sambil menunggu halaman laman itu berganti. Memang jaringan internet di daerah ini kembang kempis. Lelet minta ampu.

Saat halaman laman berganti, mata Rojak tertuju pada harga tiket untuk hari Jumat besok. Memang bukan untung yang diraihnya. Harga tiket bukan semakin turun namun semakin naik, maklum musim liburan anak sekolah. Mata Rojak kembali berembun. Napas agak tersengal.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tak bisa menengokmu," isaknya lirih.
***

Cerita di atas adalah fiksi yang didasarkan oleh kisah nyata seorang pegawai pajak yang berjuang di pedalaman Kalimantan. Rojak tak sendiri. Ratusan bahkan mungkin ribuan temannya bernasib sama. Mengabdi demi negeri di daerah-daerah terpencil sebagai prajurit pengumpul pajak untuk menafkahi negeri yang dicintainya.

Dengan bermodal semangat mengabdi pada negeri, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan keluarga yang dicintainya. Tak sedikit teman-teman Rojak yang lari ke perusahaan swasta dengan gaji yang lebih tinggi. Hambatan dan tantangan hidup dan pekerjaan yang dihadapi tentu tak ringan. Kadang mereka seperti prajurit tanpa amunisi yang harus menghadapi wajib pajak yang bandel yang dibekingi pejabat daerah, polisi atau tentara dan preman. Begitu juga wajib pajak yang belum mengerti tentang kewajiban pajak. Sementara hati mereka terus terkikis rindu dengan kampung halaman dan keluarga yang jauh dari dekapan.

Cerita ini memang tak menarik. Kalah menarik dengan cerita tentang Gayus Tambunan dengan kekayaan yang membelalakkan mata. Atau Dhana Widhiatmika, Pargono dan oknum-oknum pegawai pajak yang tertangkap tangan berkolusi dengan wajib pajak. Tentu saja tak semua pegawai pajak seperti mereka, namun stigma buruk itu terus melekat di benak masyarakat. Hal ini tentu membuat beban di pundak Rojak semakin berat.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku institusi administratur pajak di negeri ini tentu memikirkan nasib Rojak dan kawan-kawan. DJP tentu ingin menambah pegawai dengan jumlah yang banyak untuk membantu Rojak menagih pajak yang tak dibayar WP-WP bandel. Pegawai yang nantinya menggantikan tugas Rojak di pedalaman, agar dia bisa kembali berkumpul dengan keluarga.

DJP tentu ingin menambah jumlah kantor pajak di daerah-daerah. Agar Rojak dan kawan-kawan bisa mengawasi dan melayani  WP dengan lebih maksimal tanpa terkendala rentang lokasi yang begitu jauh.

DJP juga ingin menambah penghasilan Rojak. Agar dia bisa menghidupi keluarganya, bisa menabung dan membeli tiket pulang ke keluarganya secara rutin. Penghasilan yang cukup layak sehingga tak banyak teman-teman Rojak yang lari ke perusahaan swasta. Penghasilan yang memadai, agar mereka tak tergoda untuk main mata dengan WP.

Tapi sayangnya, DJP saat ini tak mempunyai wewenang untuk menambah SDM, wewenang Anggaran dan wewenang Organisasi. Sementara target pajak kian berat dan makin sulit terealisasi. Tentu kita tak mau negara ini berhutang lagi dan lagi.

Jika Anda peduli dengan keberlangsungan negeri ini, Anda bisa bantu dengan mengisi petisi ini.








Thursday, July 3, 2014

Pajak Adalah Pemberi Nafkah Negara

pic taken from http://noahslightfoundation.com


Pak Kojib pulang dengan lesu. Lelah yang menggelayuti tubuhnya tak jua hilang meski segelas teh hangat mulai menjalari relung-relung ususnya. Selepas salat Maghrib, dia leyeh-leyeh di depan TV menonton berita yang berisi kampanye Capres yang penuh kekelaman, sambil mengunyah singkong goreng yang masih panas yang disediakan istrinya.

"Pak, minggu depan anak-anak mulai bayar sekolah lho. Bowo bayar uang masuk SMA. Sedang Joko bayar daftar ulang SMP-nya. Belum beli seragam dan buku pelajaran baru," tiba-tiba suara istrinya mengoyak kesantaiannya.

"Eenggg....."

"Terus kemarin Satpam komplek bolak-balik nagih iuran warga buat mbenerin jalan dan lapangan futsal," saut istrinya.

"Tapi, Bu..."

"Waktu hujan deras semalam, dapur kita bocor, Pak. Kayaknya gentengnya mulai melorot deh Pak," cerocos istrinya tak berhenti.

"Nganu, Bu..."

"Lihat tuh Pak, tetangga sebelah. Mobilnya baru. Padahal aku lihat-lihat suaminya di rumah aja," tanya istrinya seperti tak bisa berhenti.

"Tapi..."

"Kulkas ama mesin cuci juga mulai ngadat tuh, Pak. Tanganku mulai pecah-pecah nih nyuci baju seharian.' sergah istrinya tanpa memberi kesempatan Pak Kojib bicara.

"Bu, dengar dulu. Aku mau jelaskan!" suara Pak Kojib sedikit mengeras.

Bu Kojib akhirnya terdiam sesaat.

"Kamu itu kalau sudah ngomong persis copras-capres itu. Masih untung gak nyebar-nyebar keburukanku ke tetangga."

"Kayak capres gimana sih, Pak? Aku kok gak paham."

"Capres-capres itu senang banget lempar janji-janji ini itu. Mau bangun ini, bangun itu. Beli ini, beli itu. Gratisin ini, gratisin itu. Sama kayak Ibu ini lho. Minta ini, minta itu. Emang duit darimana?'' tanya Pak Kojib sengit.

"Ya duit dari hasil Bapak kerja lah. Bukannya tugas suami itu mencari nafkah buat keluarganya?" jawab istrinya ketus.

"Aku jelasin ya, Bu. Kita ngga bisa lagi mengandalkan kekayaan kita. Sawah kita yang di ujung desa itu sudah berapa tahun ngga menghasilkan apa-apa, karena ngga ada yang ngurus. Kolam ikan yang diurus sama saudara itu juga sudah lama ngga keurus. Duitnya nggak pernah disetor lagi ke kita. Satu-satunya harapan kita ada di toko di dekat pasar itu. Sementara Aku sendiri sudah semakin tua, mengurusi toko yang makin sepi. Jadi duit darimana buat bayar ini-itumu tadi?" jawab Pak Kojib.

"Jadi piye, Pak. Namanya keluarga kan perlu nafkah. Tanpa itu ya bisa bubar keluarga ini?" tanya istrinya serius.

"Mangkanya kita perlu puter otak, Bu. Sawah dan kolam ikan harus kita urus sendiri. Siapa tahu dari situ ada penghasilan tambahan. Nah, untuk penghasilan utama mau ngga mau kita harus mengandalkan toko itu. Tentu perlu tambahan modal. Desainnya kita perbaharui. Kualitas barang yang kita jual juga harus tambah bagus. Dan yang lebih penting, kita perlu tambahan karyawan lagi. Aku ini sudah ngga kuat kalau sendirian mengurus toko," jawab Pak Kojib panjang lebar.

"Ooo... gitu ya, Pak. Aku sih setuju-setuju saja. Tapi ada pertanyaan lagi. Buat itu duit darimana?" kata istrinya semangat.

Tiba-tiba terdengar azan Isya, menghentikan dialog pak Kojib dan istrinya.

"Sudah Isya, Bu. Ayo salat terus makan malam. Nanti kita lanjutkan kalau mau tidur," kata Pak Kojib dengan senyum manis yang disambut pula dengan sama manis oleh istrinya.

***

Indonesia adalah keluarga Pak Kojib. Ada Bu Kojib, istrinya, dan Bowo dan Joko, kedua anaknya yang dibanggakan. Sama seperti keluarga ini, Indonesia adalah negara yang dulu dikenal kaya dengan sumber daya alam. Tapi sekarang kekayaan alam itu semakin lama semakin menipis, bahkan kepemilikannya banyak yang berpindah ke negara asing.

Indonesia tak bisa lagi mengandalkan sumber daya alam untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Nafas negeri ini kini hampir sepenuhnya ditopang oleh penerimaan pajak. Hampir 75% !! Sungguh bukan angka yang main-main.

Sementara capres-capres yang beradu saat ini terus mengumbar janji-janji manis yang semoga bukan hanya pepesan kosong hanya untuk mengisi pundi-pundi suara yang akan dilupakan saat mereka berkuasa. Mereka tak pernah memaparkan strategi untuk mencari #duitdarimana untuk mewujudkan janji-janji itu.

Pajak mau tidak mau sekarang adalah pemberi nafkah negara. Dia harus diperkuat supaya wewenangnya lebih besar sehingga lebih lincah dan leluasa untuk mencari nafkah buat Indonesia yang kita cintai ini.

Pajak tak boleh lemah atau dilemahkan. Utang yang dipikul negara ini sudah terlampau berat. Jangan bebani anak cucu kita dengan utang yang mungkin tak pernah mereka tahu.

Dukung penguatan otoritas pajak dengan mengisi petisi ini, untuk Indonesia yang lebih baik.









Friday, June 27, 2014

Direktorat Jenderal Pajak Menyelenggarakan Workshop Blogger



Di ruang Teluk Jakarta, Hotel Mercure - Ancol, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan Workshop Peningkatan Kapasitas Blogger Pajak. Acara ini diselenggarakan selama dua hari, hari Rabu dan Kamis 26 dan 27 Juni 2014.

Maksud diselenggalarakannya acara ini adalah untuk mengoordinasi para blogger yang merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam menghadapi perkembangan informai di sosial media.

Bertindak sebagai pembicara adalah Asep Syamsudin M. Romli yang lebih akrab dipanggil Kang Romeltea, yang secara gamblang menjelaskan pentingnya media sosial dan juga memberikan tips-tips menjadi blogger yang baik.

"Tidak mempunyai akun sosial media berarti tidak gaul," begitu dijelaskan oleh Kang Romeltea.

Selepas acara ini diharapkan ada peningkatan kualitas blogger pajak dalam menyampaikan tulisan dan gagasannya sebagai sarana kehumasan dan tercipta kesamaan gerak blogger pajak untuk meng-counter berita-berita minor tentang pajak dan organisasi Direktorat Jenderal Pajak.  (SR)

Thursday, June 26, 2014

Laskar Cyber Pajak Bergerak



Sebuah telepon mengguncang handphone-ku yang nyaris sekarat sore itu.
"Pak, minggu depan Bapak ada tugas dinas ke Jakarta." Terdengar suara merdu mendayu.
"Oh ya?" jawabku antusias, "acara apa?"
"Workshop Peningkatan Kapasitas Blogger Pajak," jawab suara di seberang sana.

***

Suasana sore itu mendadak ceria. Angin berhembus malu-malu (iya ini boong). Setiap mendapat tugas di Jakarta apa pun acaranya bagiku adalah segelas Coca Cola dalam gelas yang berembun yang membasahi kerongkongan saat panasnya siang. Sambil menyelam minum susu. Dapat tugas dinas sekalian pulang, bertemu keluarga yang sudah dua minggu ditinggal.

Dan siang ini, aku di ruangan Teluk Jakarta, Mercure Hotel Ancol, bersama 50 orang kawan senasib yang merupakan blogger di lingkungan DJP

***

Acara berlangsung sejak tadi pagi. Awalnya aku mengira acara ini akan berisi update terbaru mengenai dunia ber-blog-an. Ternyata ada agenda besar dari DJP yaitu pembentukan DJP Cyber Army.

Aku agak takjub juga dengan istilah ini. Rasanya seperti mau perang saja sehingga perlu dibentuk Laskar Cyber DJP. Setelah diterangkan oleh panitia, baru aku tahu bahwa laskar ini dibentuk ditujukan untuk menangkal berita-berita buruk tentang DJP atau issue-issue lain yang berkaitan dengan pajak secara umum atau organisasi DJP secara khususnya.

Perkembangan informasi dan menjamurnya media sosial mengharuskan DJP untuk membentuk agen-agen khusus untuk menghadang berita buruk dan membentuk opini yang positif tentang pajak dan DJP. Meski agak terlambat langkah ini perlu diapresiasi. 

Di media sosial sebenarnya banyak pegawai DJP yang sering malang melintang di dunia maya. Mereka sebenarnya adalah agen-agen potensial yang dapat dimanfaatkan dalam pembentukan DJP Cyber Army ini. Namun banyak bloger DJP yang menulis blog dengan tema non pajak. Banyak pula akun-akun sosial media/twitter yang mempunyai follower banyak namun jarang memposting tulisan tentang pajak. Mereka seharusnya bisa dimanfaatkan dalam DJP Cyber Army. Tentu harus dengan reward tertentu. Layaknya buzzer capres yang bergentayangan secara masif sekarang ini.

Laiknya tentara, DJP Cyber Army ini harus ditindaklanjuti dengan serius dan dengan komando yang jelas sehingga di lapangan tidak saling bertubrukan sehingga bisa menghasilkan hasil yang optimal. Tentu saja dengan tidak merugikan akun-akun pribadi yang telah dirintis masing-masing individu.

DJP Cyber Army Attack!