Friday, July 11, 2014

Prajurit Tanpa Amunisi

Pic taken from pinterest.com


Mata Rojak terus tertuju pada selembar kertas yang dipegangnya. Berulang kali dia membaca tulisan dalam kertas itu. Tiba-tiba dia mendengus sambil meletakkan kertas itu di meja kerjanya yang penuh dengan berkas-berkas permohonan WP dengan waktu jatuh tempo yang kian dekat.

"Sialan, WP ini gak mau respon himbauan ini. Boro-boro mau bayar pajak!" 

Roni yang duduk di seberangnya berceletuk.

"Sabar, Jak. Namanya juga WP, mana ada yang mau bayar pajak. Udah datangin aja ke lokasinya,'' ujarnya.

***

Rojak kembali teringat seminggu lalu ketika menyampaikan surat himbauan itu ke lokasi Wajib Pajak (WP). Dengan mobil Isuzu-Panther warna biru tua milik kantor, dia ditemani atasannya berangkat pagi-pagi sekali, ketika teman-teman sekantornya belum datang.

Lokasi WP terletak jauh dari kantor Rojak. Tak kurang dari tiga jam waktu yang harus dia tempuh. WP yang didatangi Rojak ini adalah salah satu pengusaha tambang batubara. Jalan yang dia lalui tentu tak sehalus jalan-jalan di Jawa. Sebagian besar jalan sudah telanjang tanpa terbungkus aspal lagi. Sementara di kanan-kiri jalan dia melihat kehidupan penduduk yang memperihatinkan. Antrean solar dan bensin di SPBU yang panjang. Listrik yang lebih sering mati daripada menyala. Sungguh ironi untuk daerah yang dikenal sebagai penghasil energi.

Semakin dekat ke lokasi pertambangan, Rojak kembali mengurut dada. Di antara rumah-rumah penduduk yang  terbuat dari kayu, ada sebuah rumah yang besarnya seperti istana. Di halaman rumahnya berjajar mobil-mobil mewah yang hanya bisa ditemui di Jakarta.

"Mungkin ini rumah Pak Haji. Pemilik kuasa pertambangan," bisiknya lirih.

Sudah bukan rahasia lagi, para  pemilik tambang adalah raja kecil di daerah. Dengan uang yang dimilikinya dia bisa membeli apa saja. Banyak orang yang rela mati untuk menjaga kepentingannya.

Benar saja, tak lama ada beberapa orang yang menghentikan mobil Rojak.

"Bapak darimana dan mau kemana?" tanyanya salah satu dari mereka kasar.

Rojak dan atasannya kemudian turun, dan menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Setelah berunding alot mereka terpaksa balik ke kantor. Surat himbauan hanya bisa dititipkan melalui mereka, karena Pak Haji sedang umroh. Mungkin itu alasan saja. Tapi Rojak dan atasannya tak berani mengambil risiko, demi keselamatan mereka.

***

Tiba-tiba handphone Rojak berbunyi.

"Gimana, Mas. Sudah dapat tiketnya. Anakmu badannya masih panas. Mungkin kangen Bapaknya," suara istrinya dari seberang handphone.

"Sabar ya, Dik. Harga tiket pesawat sedang mahal-mahalnya nih. Aku masih tunggu sebentar. Siapa tahu turun," jawab Rojak memelas.

"Ya udah, Mas. Nanti kabarin ya," kata istrinya dan dijawab iya oleh Rojak sambil mengakhiri percakapannya.

Rojak kembali lemas. Sudah lima tahun dia terpaksa jauh dari keluarga yang dicintainya. Tinggal di daerah terpencil tak baik buat perkembangan dua orang anak-anaknya yang masih kecil. Tentu ini pilihan yang berat karena harus menghidupi dua dapur. Sementara istinya di Jawa pun tidak bekerja. Hidupnya hanya tergantung dari gaji Rojak dan warung kecil-kecilan yang dia buka. Gaji dan tunjangan yang diterima Rojak habis untuk kehidupan sehari-hari. Belum lagi ongkos tiket pesawat untuk pulang pergi dua bulan sekali yang harus dia keluarkan sekadar untuk bertemu melepas rindu dengan keluarga yang sangat dicintainya.

Rojak kembali merefresh laman maskapai penerbangan satu-satunya yang bisa membawanya pulang. Ya, hanya ada 1 penerbangan yang tersedia setiap harinya. Dia menghela napas sebentar sambil menunggu halaman laman itu berganti. Memang jaringan internet di daerah ini kembang kempis. Lelet minta ampu.

Saat halaman laman berganti, mata Rojak tertuju pada harga tiket untuk hari Jumat besok. Memang bukan untung yang diraihnya. Harga tiket bukan semakin turun namun semakin naik, maklum musim liburan anak sekolah. Mata Rojak kembali berembun. Napas agak tersengal.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tak bisa menengokmu," isaknya lirih.
***

Cerita di atas adalah fiksi yang didasarkan oleh kisah nyata seorang pegawai pajak yang berjuang di pedalaman Kalimantan. Rojak tak sendiri. Ratusan bahkan mungkin ribuan temannya bernasib sama. Mengabdi demi negeri di daerah-daerah terpencil sebagai prajurit pengumpul pajak untuk menafkahi negeri yang dicintainya.

Dengan bermodal semangat mengabdi pada negeri, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan keluarga yang dicintainya. Tak sedikit teman-teman Rojak yang lari ke perusahaan swasta dengan gaji yang lebih tinggi. Hambatan dan tantangan hidup dan pekerjaan yang dihadapi tentu tak ringan. Kadang mereka seperti prajurit tanpa amunisi yang harus menghadapi wajib pajak yang bandel yang dibekingi pejabat daerah, polisi atau tentara dan preman. Begitu juga wajib pajak yang belum mengerti tentang kewajiban pajak. Sementara hati mereka terus terkikis rindu dengan kampung halaman dan keluarga yang jauh dari dekapan.

Cerita ini memang tak menarik. Kalah menarik dengan cerita tentang Gayus Tambunan dengan kekayaan yang membelalakkan mata. Atau Dhana Widhiatmika, Pargono dan oknum-oknum pegawai pajak yang tertangkap tangan berkolusi dengan wajib pajak. Tentu saja tak semua pegawai pajak seperti mereka, namun stigma buruk itu terus melekat di benak masyarakat. Hal ini tentu membuat beban di pundak Rojak semakin berat.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku institusi administratur pajak di negeri ini tentu memikirkan nasib Rojak dan kawan-kawan. DJP tentu ingin menambah pegawai dengan jumlah yang banyak untuk membantu Rojak menagih pajak yang tak dibayar WP-WP bandel. Pegawai yang nantinya menggantikan tugas Rojak di pedalaman, agar dia bisa kembali berkumpul dengan keluarga.

DJP tentu ingin menambah jumlah kantor pajak di daerah-daerah. Agar Rojak dan kawan-kawan bisa mengawasi dan melayani  WP dengan lebih maksimal tanpa terkendala rentang lokasi yang begitu jauh.

DJP juga ingin menambah penghasilan Rojak. Agar dia bisa menghidupi keluarganya, bisa menabung dan membeli tiket pulang ke keluarganya secara rutin. Penghasilan yang cukup layak sehingga tak banyak teman-teman Rojak yang lari ke perusahaan swasta. Penghasilan yang memadai, agar mereka tak tergoda untuk main mata dengan WP.

Tapi sayangnya, DJP saat ini tak mempunyai wewenang untuk menambah SDM, wewenang Anggaran dan wewenang Organisasi. Sementara target pajak kian berat dan makin sulit terealisasi. Tentu kita tak mau negara ini berhutang lagi dan lagi.

Jika Anda peduli dengan keberlangsungan negeri ini, Anda bisa bantu dengan mengisi petisi ini.








Thursday, July 3, 2014

Pajak Adalah Pemberi Nafkah Negara

pic taken from http://noahslightfoundation.com


Pak Kojib pulang dengan lesu. Lelah yang menggelayuti tubuhnya tak jua hilang meski segelas teh hangat mulai menjalari relung-relung ususnya. Selepas salat Maghrib, dia leyeh-leyeh di depan TV menonton berita yang berisi kampanye Capres yang penuh kekelaman, sambil mengunyah singkong goreng yang masih panas yang disediakan istrinya.

"Pak, minggu depan anak-anak mulai bayar sekolah lho. Bowo bayar uang masuk SMA. Sedang Joko bayar daftar ulang SMP-nya. Belum beli seragam dan buku pelajaran baru," tiba-tiba suara istrinya mengoyak kesantaiannya.

"Eenggg....."

"Terus kemarin Satpam komplek bolak-balik nagih iuran warga buat mbenerin jalan dan lapangan futsal," saut istrinya.

"Tapi, Bu..."

"Waktu hujan deras semalam, dapur kita bocor, Pak. Kayaknya gentengnya mulai melorot deh Pak," cerocos istrinya tak berhenti.

"Nganu, Bu..."

"Lihat tuh Pak, tetangga sebelah. Mobilnya baru. Padahal aku lihat-lihat suaminya di rumah aja," tanya istrinya seperti tak bisa berhenti.

"Tapi..."

"Kulkas ama mesin cuci juga mulai ngadat tuh, Pak. Tanganku mulai pecah-pecah nih nyuci baju seharian.' sergah istrinya tanpa memberi kesempatan Pak Kojib bicara.

"Bu, dengar dulu. Aku mau jelaskan!" suara Pak Kojib sedikit mengeras.

Bu Kojib akhirnya terdiam sesaat.

"Kamu itu kalau sudah ngomong persis copras-capres itu. Masih untung gak nyebar-nyebar keburukanku ke tetangga."

"Kayak capres gimana sih, Pak? Aku kok gak paham."

"Capres-capres itu senang banget lempar janji-janji ini itu. Mau bangun ini, bangun itu. Beli ini, beli itu. Gratisin ini, gratisin itu. Sama kayak Ibu ini lho. Minta ini, minta itu. Emang duit darimana?'' tanya Pak Kojib sengit.

"Ya duit dari hasil Bapak kerja lah. Bukannya tugas suami itu mencari nafkah buat keluarganya?" jawab istrinya ketus.

"Aku jelasin ya, Bu. Kita ngga bisa lagi mengandalkan kekayaan kita. Sawah kita yang di ujung desa itu sudah berapa tahun ngga menghasilkan apa-apa, karena ngga ada yang ngurus. Kolam ikan yang diurus sama saudara itu juga sudah lama ngga keurus. Duitnya nggak pernah disetor lagi ke kita. Satu-satunya harapan kita ada di toko di dekat pasar itu. Sementara Aku sendiri sudah semakin tua, mengurusi toko yang makin sepi. Jadi duit darimana buat bayar ini-itumu tadi?" jawab Pak Kojib.

"Jadi piye, Pak. Namanya keluarga kan perlu nafkah. Tanpa itu ya bisa bubar keluarga ini?" tanya istrinya serius.

"Mangkanya kita perlu puter otak, Bu. Sawah dan kolam ikan harus kita urus sendiri. Siapa tahu dari situ ada penghasilan tambahan. Nah, untuk penghasilan utama mau ngga mau kita harus mengandalkan toko itu. Tentu perlu tambahan modal. Desainnya kita perbaharui. Kualitas barang yang kita jual juga harus tambah bagus. Dan yang lebih penting, kita perlu tambahan karyawan lagi. Aku ini sudah ngga kuat kalau sendirian mengurus toko," jawab Pak Kojib panjang lebar.

"Ooo... gitu ya, Pak. Aku sih setuju-setuju saja. Tapi ada pertanyaan lagi. Buat itu duit darimana?" kata istrinya semangat.

Tiba-tiba terdengar azan Isya, menghentikan dialog pak Kojib dan istrinya.

"Sudah Isya, Bu. Ayo salat terus makan malam. Nanti kita lanjutkan kalau mau tidur," kata Pak Kojib dengan senyum manis yang disambut pula dengan sama manis oleh istrinya.

***

Indonesia adalah keluarga Pak Kojib. Ada Bu Kojib, istrinya, dan Bowo dan Joko, kedua anaknya yang dibanggakan. Sama seperti keluarga ini, Indonesia adalah negara yang dulu dikenal kaya dengan sumber daya alam. Tapi sekarang kekayaan alam itu semakin lama semakin menipis, bahkan kepemilikannya banyak yang berpindah ke negara asing.

Indonesia tak bisa lagi mengandalkan sumber daya alam untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya. Nafas negeri ini kini hampir sepenuhnya ditopang oleh penerimaan pajak. Hampir 75% !! Sungguh bukan angka yang main-main.

Sementara capres-capres yang beradu saat ini terus mengumbar janji-janji manis yang semoga bukan hanya pepesan kosong hanya untuk mengisi pundi-pundi suara yang akan dilupakan saat mereka berkuasa. Mereka tak pernah memaparkan strategi untuk mencari #duitdarimana untuk mewujudkan janji-janji itu.

Pajak mau tidak mau sekarang adalah pemberi nafkah negara. Dia harus diperkuat supaya wewenangnya lebih besar sehingga lebih lincah dan leluasa untuk mencari nafkah buat Indonesia yang kita cintai ini.

Pajak tak boleh lemah atau dilemahkan. Utang yang dipikul negara ini sudah terlampau berat. Jangan bebani anak cucu kita dengan utang yang mungkin tak pernah mereka tahu.

Dukung penguatan otoritas pajak dengan mengisi petisi ini, untuk Indonesia yang lebih baik.